Ksatria Templar, ordo militer Kristen terbesar dan paling kuat yang dikenal sebagai ‘Para Perwira Miskin Kristus dan Bait Salomo’, tak lain adalah cikal-bakal gerakan freemason.
Pernah menontong film "Kingdom of Heaven"? film perebutan kota Jerusalem karya sutradara film Gladiator, Ridley Scott?. "Kingdom of Heaven" bercerita mengenai suasana Jerusalem pada masa Perang Salib di abad ke-12, dimana Raja Jerusalem saat itu, King Baldwin (Edward Norton), memilih untuk menjalin dan mempertahankan perjanjian damai dengan pihak kerajaan Islam yang dipimpin oleh “Saladin” (sebutan orang Barat terhadap Salahuddin Al-Ayyubi. Pejuang legendaris Islam).
Alkisah, karena melihat sejarah buram berbagai korban yang ditimbulkan oleh akibat Perang Salib itulah, King Baldwin (dari pihak Kristen) ingin mengadakan perjanjian damai dengan pihak Islam (yang diwakili Salahuddin Al-Ayyubi).
Perjanjian damai yang diinginkan Baldwin adalah terciptanya Jerusalem sebagai suatu kerajaan surgawi yang tentram dan makmur, tanpa peperangan dan kebencian, yang dia istilahkan dengan, "A kingdom of concious, peace instead of war, love instead of hate".
Sayangnya, rencana perjanjian indah itu ternoda oleh ambisi dan kerakusan oleh segolongan kecil orang dari kubu pasukan Kristen. Golongan ini dikepalai oleh Guy de Lusignan (Marton Csokas), suami dari adik raja, sekaligus calon raja Jerusalem.
Ia, lebih memilih melakukan konfrontrasi dengan pasukan Islam secara terang-terangan. Guy de Lusignan lah (dalam cerita film tersebut) yang digambarkan sebagai sosok pemimpin pasukan ksatria Templar (Knights Templar).
Disaat pihak raja Kristen dan Islam sedang mencari jalan damai, justru para Kesatria Templar-lah, yang melakukan pembantaian sekelompok masyarakat Islam dengan sangat keji, termasuk adik dari Panglima Islam kala itu, yakni Salahuddin Al-Ayyubi. Begitu kejinya, sampai-sampai utusan yang dikirim Salahuddin untuk meminta jasad adiknya, justru Guy membunuh sang kurir dari Saracen (sebutan untuk kaum Muslim) dengan memotong kepalanya.
Ksatria Templar adalah sebuah ordo militer Kristen terbesar dan paling kuat. Dia lahir sebagai dengan sebutan ‘Para Perwira Miskin Kristus dan Bait Salomo’, yang berpusat di Yerusalem. Ksatria Templar dibentuk pada 1118, setelah Perang Salib Pertama 1096 dibawah pimpinan Paus Urban II.. Tadinya, ia hanya bertugas membantu Kerajaan Yerusalem melindungi kerajaannya, dan untuk melindungi keamanan para peziarah Eropa yang ingin pergi ke Yerusalem. Para Ksatria Templar, ibarat pasukan khusus yang hanya tunduk pada perintah kepausan.
Dalam perkembangannya, Kaum Templar begitu cepat berkembang. Bahkan menjadi penggerak utama dalam politik internasional di masa Perang Salib. Karena itu, Kepausan memberinya tugas istimewa (lihat Omne Datum Optimum) dengan mengijinkan mereka mengumpulkan pajak dan menerima sumbangan, yang sebagian hasil yang dikumpulkan saat Perang Salib dari kaum Muslim.
Kepercayaan yang luar biasa pada para Ksatria Templar menyebabkan ordo ini semakin menggurita, terutama dalam hal keuangan. Tak heran pundi-pundi uang disimpan di kantor-kantor cabang dan gereja-gereja mereka. Begitu besarnya uang yang dimiliki, sampai-sampai, sutradara Holywood pernah membuat film berjudul, “National Treasure”, yang berceita tentang legenda harta karun para Ksatria Templar. Konon, harta karun ini sangat besar, bahkan mungkin paling besar dalam sejarah manusia, dan tersembunyi di sebuah tempat di Amerika
Karena berjibunnya uang itu, tahun 1135 ordo ini memulai kegiatan baru berupa pinjam-meminjamkan uang kepada para peziarah Spanyol yang ingin berkunjung ke Tanah suci. Kelak kegiatannya ini k Mereka pula yang pertama kali menyelenggarakan sistem cek dan kredit, menyerupai yang ada pada sebuah bank. Menurut penulis Inggris, Michael Baigent dan Richard Leigh, mereka membangun semacam kapitalisme abad pertengahan, dan merintis jalan menuju perbankan modern dengan transaksi mereka yang kita kenal dengan istilah perbankan dan dunia riba.
Mereka pula yang pertama kali menyelenggarakan sistem cek dan kredit, menyerupai yang ada pada sebuah bank. Menurut penulis Inggris, Michael Baigent dan Richard Leigh, mereka membangun semacam kapitalisme abad pertengahan, dan merintis jalan menuju perbankan modern dengan transaksi mereka yang berbasis bunga.
Cikal-bakal Freemason
Sayangnya, di saat kekuatan dan kekayaanya semakin menggurita, ketamakannya dan kedoknya mulai terkuak. Para Templar, secara diam-diam justru hanya memanfaatkan gereja meski perilakunya jauh keluar dari iman Katolik.
Diantara penyimpangannya adalah; mereka melakukan ritual-ritual setan yang tak pernah diajarkan dalam Katolik. Para Templar, yang awalnya bersemboyan ‘Para Perwira Miskin Kristus” sesungguhnya adalah orang-orang superkaya. Para Templar menyebut dirinya “tentara miskin”, tetapi dalam waktu singkat mereka menjadi sangat makmur.
Sebagian kaum Templar mengaku mereka melakukan tindakan-tindakan homoseksual, dan bahwa mereka menyembah kepala manusia dan sebuah agama misteri yang dikenal sebagai Bafomet.
Para Templar juga melakukan ritual yang dianggap keluar dari iman Katolik karena meludahi Salib tiga kali, serta mencium bokong orang lain.
Tahun 1307, Raja Prancis Philip le Bel dan Paus Clement V memutuskan untuk menangkap dan membubarkan anggota-anggota ordo ini. Clevement V bahkan mengeluarkan keputusan kepausan dengan nama Vox in Excelso (suara dari langit). Sejak itu, para pemimpin Templar, yang dijuluki “pemimpin Besar (Grand Master)”, mulai dari yang terpenting dari mereka, Jacques de Molay, dihukum mati pada tahun 1314 atas perintah Gereja dan Raja. Kebanyakan mereka dijebloskan ke dalam penjara, namun sebagaian melarikan diri ke tempat yang aman.
Salah satunya mereka berlindung di satu-satunya kerajaan di Eropa yang tidak mengakui kekuasaan Gereja Katolik di abad keempat belas, yaitu Skotlandia. Di sana, mereka menyusun kekuatan kembali di bawah perlindungan Raja Skotlandia, Robert the Bruce. Mereka juga melakukan penyamaran dan melanjutkan gerakan rahasia mereka dalam bentuk gilda (serikat sekerja) di Kepulauan Inggris abad pertengahan lalu mereka menguasainya.
Mereka juga memilih Negara Swiss sebagai tempat pelarian dan penyusunan kembali kekuatannya. Pendeknya, para Templar tidak tertumpas, sebaliknya filsafat serta berbagai kepercayaan dan upacara mereka tetap berlangsung di balik samaran Freemasonry, yang kelak masih ada hubungannya dengan Yahudi dan Zionisme.
Sebuah buku yang ditulis oleh dua orang Mason, Christopher Knight dan Robert Lomas, yang berjudul the Hiram Key pernah mengungkapkan beberapa fakta penting tentang akar-akar gerakan Freemasonry. Menurut mereka, jelas sekali bahwa Masonry adalah kesinambungan dari para Templar.
Adalah penting bagi anda membaca buku yang tak kalah serunya dengan cerita dalam film ini. Ordo Templar, membuktikan pada kita semua bahwa teori konspirasi memang ada. Para Templar juga membuktikan bagaimana ada ‘negara dalam negara’.
MENELUSURI SEJARAH PERANG SALIB
Saat perang Salib, tentara Kristen, Jerman, Yahudi membantai orang Islam di jalan-jalan. Berbalik 180 derajat dengan perlakuan pasukan Islam terhadap pasukan Kristen. Simak akhlaq Salahuddin al-Ayyubi
“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton & London: 1991).
Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.
Sepak Terjang Tentara Salib
Sampai abad ke-11 M, di bawah pemerintahan kaum Muslimin, Palestina merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Kondisi ini tercipta sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil merebut daerah ini dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur). Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Petinggi kaum Kristen itu segera minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147 pecah Perang Salib II. Namun perang besar-besaran terjadi pada Perang Salib III. Di pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard “Si Hati Singa” dari Inggris, sementara kaum Muslimin
Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Pria keturunan Seljuk ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.
Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.
Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon
(Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.”
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.
Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard “Si Hati Singa”.
Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib terakhir (VII dan VIII) dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.*
KILAS BALIK PERANG SALIB
Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan, dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang berlaku tidak adil (dhalim).
Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam akan terus terjadi. Rasulullah Saw mendapat informasi dari Allah SWT serta beberapa perintah sebagai berikut:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-Baqarah [2]: 190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Qs. al-Baqarah [2]: 193).
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 75).
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. al-Anfaal [8]: 60).
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa terjadi karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah (kekufuran) dan permusuhan; (3) demi membela yang tertindas –tanpa melihat agama mereka.
Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.
Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat ayat:Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs. al-Baqarah [2]: 120).
Namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya, kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang lama maupun yang baru, justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita, sampai kiamat tiba.
Fakta-fakta Perang Salib
Tidak terlalu mudah mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya. Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak berlebih-lebihan. *1)
Kesulitan lainnya adalah mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda, misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.
Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing.Secara keseluruhan perang salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai berikut:
Pada sinode di Clermont Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan: ummat Islam. Sasaran jangka pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh Khalifah. Yang mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang Khalifah jika lembaga Khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan Khalifah jika ummat yang dipimpinnya tewas semua? (Qs. Ali-Imran [3]: 169).
1096 – serangan salib pertama diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.
Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.
Pada serangan salib kedua (1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam, karena memang kekufuran sebenarnya musuh seluruh manusia –hanya saja ummat Islam adalah penghalang terbesar bagi kekufuran itu.
Serangan salib ketiga (1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan.
Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.
Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.
Serangan salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin.
Serangan salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.
Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah ummat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi (Qs. al-An’aam [6]: 39).
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan” menyebut-nyebut perang salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu mengherankan lagi.
Analisis Perang Salib
Al-Wakil menuliskan bahwa sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang bertahun-tahun adalah (Qs. Ali-Imran [3]: 165):
- Penyebab utama perang salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Ummat Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai (terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap ummat yang mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan kehilangan jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan meletakkannya di pundak masing-masing.
- Perasaan keagamaan yang kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk menghapus dosa walau setinggi langit.
- Perlakuan in-toleran orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam memperlakukan agama lain.
- Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur (ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang dipimpin langsung Sri Paus.
- Kegemaran tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen, kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
- Ada kelemahan dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.
- Tidak adanya orang kuat yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di Kairo.
- Beberapa kabilah pesisir telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan antara Eropa dan negara-negara Timur.
- Kemenangan Sri Paus atas raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur di Eropa.
Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat*2), yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.
Menghadapi Perang Salib Baru
Dengan melihat fakta-fakta serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib –apapun motif sesungguhnya– selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian, jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus memikul amanah al-Qur’an untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.
Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai “penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.
Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, ummat Islam sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad 11-13, yang masih memiliki khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari Barat.
Faktanya, sekarang dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang membebek pada Barat. Mereka tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.
Kalau demikian apa yang dicemaskan Barat?
Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat akhirnya merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan para kapitalis itu secara sah.
Dan tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.
Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.
Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada, dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit melawan kekufuran, karena kekufuran adalah musuh abadi Islam sejak para nabi.
Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun demikian, setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat Islam masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu tidak pernah menjadi muslim kembali.
Karena itu, seandainya perang salib terjadi lagi, maka model yang paling masuk akal adalah model inquisisi. Ummat Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup menjadikan mereka sekuler, yang masih berpotensi untuk bangkit kembali.
Untuk itu ditempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat. Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakah-harakah dakwah yang paling ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia. Sedang penghancuran ummat dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun yang sulit diajak “kerjasama” akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya.
Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk membiayai penyesatan opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang mendukung mereka (seperti JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby penguasa atau tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar demonstrasi yang mengusung agenda-agenda mereka -sadar ataupun tidak, dan bila perlu membiayai aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya –baik sadar ataupun tidak bahwa mereka dimanfaatkan.
Menjawab konspirasi ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam selain lebih merapatkan barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk secepatnya menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini yang akan sanggup menahan “perang salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi jihad fii sabilillah, untuk membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul. ( hayatulislam.net )
Catatan Kaki:
1. Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan Armanus Raja Romawi terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai 200.000 personil kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil! Tampak angka ini terlalu dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.
2. Pada tentara salib bahkan terdapat suatu “corps pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan salib yang berbulan-bulan jauh dari keluarga.
Referensi:
- Imam AS-SUYUTHI (1498): Tarikh Khulafa’. (penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
- IBNU KHALDUN (1332–1406): Muqaddimah. (penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000.Muhammad Sayyid AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah hingga Imperialisme Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
- Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
- Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.
- Franklin H. LITTELL (1976): Atlas zur Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas History of Christianity). New York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe - Brockhaus Verlag, 1989.
- Werner STEIN (1979): Der grosse Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.
Tag
The Fact