Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan
Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah (bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906).
Beliau mulai belajar di Madrasah "Al-Khairiyyah", Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah.
Bel
Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Sholeh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah (bin Jindan) bin Syaikhan bin Syaikh Abu Bakar bin Salim adalah ulama dan wali besar ini dilahirkan di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906).
Beliau mulai belajar di Madrasah "Al-Khairiyyah", Surabaya sebelum melanjutkan pelajarannya ke Makkah, Tarim dan Timur Tengah.
Bel
iau berguru dengan banyak ulama. Seorang ahli hadis yang menghafal 70.000 hadis
(ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga pernah beliau menulis surat kepada Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengagumkan Ratu Belanda, kemudian surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian serta penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim karena beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta'lim Fakhriyyah di Jakarta, juga merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Beliau mempunyai banyak murid antaranya : Kiyai Abdullah Syafi'i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdurrahman al-Attas, dan masih banyak lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga beliau dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepang, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara karena kritikannya yang tajam terhadap pemerintah, apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan banyak yang berguru kepada beliau. Presiden Soekarno sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik ke atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lainnya. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi'ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta.
Karena Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlevi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakwah Syiah yang katanya mencintai Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul "Ar-Raa'atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah". Berhubung dengan bid'ah ratapan pada hari 'Asyura. Habib Salim menulis, antaranya :
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid'ah adalah faham Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram, yaitu hari terbunuhnya Al-Husain. Maka ini adalah salah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya, dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.
• Rasulullah SAW telah mencegah daripada perbuatan demikian (yakni meratap), dan Rasulullah SAW telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Rasulullah SAW daripada wanita-wanita muslim adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Rasulullah SAW bersabda : "Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran".
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits dari Sayyidina Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah)".
Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya keluar daripada umat Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam hadits tadi.
• Telah berkata Asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama'ah Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya : "Perbuatan menyeru "Ya Husain" sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari 'Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid'ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah".
Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda : "Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka, dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat."
Janganlah tertipu dengan dakwah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama'ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.
Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu : Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur), dan Habib Salim bin Jindan (Otista).
Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan, yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Beliau lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 H. (1 Juni 1969).
Nama lengkap beliau : Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Kholil bin Abdul Muthalib (Kiai Kholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits.
Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, "Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka."
Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan."
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim, dan ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa : dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, "hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman).
Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembali berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak.
Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta : "Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati ?"
Maka jawab Habib Salim : "Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai."
Lalu kata pendeta itu : "Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa, menurut keyakinan Habib belum mati, masih hidup."
Jawab Habib Salim :"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang".
Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh.
Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan.
“Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin”, kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka.
Nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim (dua putra almarhum Habib Novel).
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau", kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga.
"Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.
(ada yang mengatakan ratusan ribu hadis). Beliau juga seorang ahli sejarah yang hebat, sehingga pernah beliau menulis surat kepada Ratu Belanda berisikan silsilah raja-raja Belanda dengan tepat. Hal ini amat mengagumkan Ratu Belanda, kemudian surat beliau diberi jawaban dan diberi pujian serta penghargaan, sebab tak disangka oleh Ratu Belanda, seorang ulama Indonesia yang mengetahui silsilahnya dengan tepat. Tetapi tanda penghargaan Ratu Belanda tersebut telah dibuang oleh Habib Salim karena beliau tidak memerlukan penghargaan.
Dalam usaha dakwahnya, beliau telah mendirikan madrasah di Probolinggo serta mendirikan Majlis Ta'lim Fakhriyyah di Jakarta, juga merantau ke berbagai daerah Indonesia untuk tujuan dakwah dan ta’lim. Beliau mempunyai banyak murid antaranya : Kiyai Abdullah Syafi'i, Habib Abdullah bin Thoha as-Saqqaf, Kiyai Thohir Rohili, Habib Abdurrahman al-Attas, dan masih banyak lagi.
Habib Salim juga aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sehingga beliau dipenjarakan oleh Belanda. Di zaman penjajahan Jepang, beliau juga sering dipenjara kerana ucapan-ucapannya yang tegas, bahkan setelah kemerdekaan Indonesia, beliau juga sering keluar masuk penjara karena kritikannya yang tajam terhadap pemerintah, apalagi dalam hal bersangkutan agama yang sentiasa ditegakkannya dengan lantang.
Sifat dan kepribadian luhurnya serta ilmunya yang luas menyebabkan banyak yang berguru kepada beliau. Presiden Soekarno sendiri pernah berguru dengan beliau dan sering dipanggil ke istana oleh Bung Karno. Waktu Perjanjian Renvil ditandatangani, beliau turut naik ke atas kapal Belanda tersebut bersama pemimpin Indonesia lainnya. Beliau wafat di Jakarta pada 10 Rabi'ul Awwal dan dimakamkan dengan Masjid al-Hawi, Jakarta.
Karena Revolusi Syiah Iran yang menumbangkan kerajaan Syiah Pahlevi, maka ada orang kita yang terpengaruh dengan ajaran Syiah. Bahkan ada juga keturunan Saadah Ba ‘Alawi yang terpengaruh kerana termakan dakwah Syiah yang katanya mencintai Ahlil Bait.
Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan telah menulis sebuah kitab membongkar kesesatan Syiah yang diberinya judul "Ar-Raa'atul Ghoomidhah fi Naqdhi Kalaamir Raafidhah". Berhubung dengan bid'ah ratapan pada hari 'Asyura. Habib Salim menulis, antaranya :
• Dan di antara seburuk-buruk adat mereka daripada bid'ah adalah faham Rawaafidh (Syiah) meratap dan menangis setiap tahun pada 10 Muharram, yaitu hari terbunuhnya Al-Husain. Maka ini adalah salah satu maksiat dari dosa-dosa besar yang mewajibkan azab bagi pelakunya, dan tidak sewajarnya bagi orang yang berakal untuk meratap seperti anjing melolong dan menggerak-gerakkan badannya.
• Rasulullah SAW telah mencegah daripada perbuatan demikian (yakni meratap), dan Rasulullah SAW telah melaknat orang yang meratap. Dan di antara perkara awal yang diminta oleh Rasulullah SAW daripada wanita-wanita muslim adalah supaya mereka meninggalkan perbuatan meratap terhadap si mati, di mana Rasulullah SAW bersabda : "Dan janganlah kalian merobek pakaian, mencabut-cabut rambut dan menyeru-nyeru dengan kecelakaan dan kehancuran".
• Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan satu hadits dari Sayyidina Ibnu Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Bukanlah daripada kalangan kami orang yang memukul dada, mengoyak kain, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (yakni meratap seperti ratapan kaum jahiliyyah)".
Maka semua ini adalah perbuatan haram dan pelakunya keluar daripada umat Muhammad SAW sebagaimana dinyatakan dalam hadits tadi.
• Telah berkata Asy-Syarif an-Nashir li Ahlis Sunnah wal Jama'ah Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur al-Hadhrami dalam fatwanya : "Perbuatan menyeru "Ya Husain" sebagaimana dilakukan di daerah India dan Jawa yang dilakukan pada hari 'Asyura, sebelum atau selepasnya, adalah bid'ah madzmumah yang sangat-sangat haram dan pelaku-pelakunya dihukumkan fasik dan sesat yang menyerupai kaum Rawaafidh (Syiah) yang dilaknat oleh Allah".
Bahwasanya Junjungan Rasulullah s.a.w. bersabda : "Sesiapa yang menyerupai sesuatu kaum, maka dia daripada kalangan mereka, dan akan dihimpun bersama mereka pada hari kiamat."
Janganlah tertipu dengan dakwah Syiah. Pelajarilah betul-betul pegangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan berpegang teguh dengannya. Katakan tidak kepada selain Ahlus Sunnah wal Jama'ah, katakan tidak kepada Wahhabi, katakan tidak kepada Syiah.
Ulama Jakarta ini menguasai beberapa ilmu agama. Banyak ulama dan habaib berguru kepadanya. Koleksi kitabnya berjumlah ratusan. Ia juga pejuang kemerdekaan.
Pada periode 1940-1960, di Jakarta ada tiga habaib yang seiring sejalan dalam berdakwah. Mereka itu : Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi (Kwitang), Habib Ali bin Husein Al-Attas (Bungur), dan Habib Salim bin Jindan (Otista).
Hampir semua habaib dan ulama di Jakarta berguru kepada mereka, terutama kepada Habib Salim bin Jindan, yang memiliki koleksi sekitar 15.000 kitab, termasuk kitab yang langka. Sementara Habib Salim sendiri menulis sekitar 100 kitab, antara lain tentang hadits dan tarikh, termasuk yang belum dicetak.
Beliau lahir di Surabaya pada 18 Rajab 1324 H. (7 September 1906) dan wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 H. (1 Juni 1969).
Nama lengkap beliau : Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Saleh bin Abdullah bin Umar bin Abdullah bin Jindan. Seperti lazimnya para ulama, sejak kecil ia juga mendapat pendidikan agama dari ayahandanya.
Menginjak usia remaja ia memperdalam agama kepada Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Habib Empang, Bogor), Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso), Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya), Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik), K.H. Kholil bin Abdul Muthalib (Kiai Kholil Bangkalan), dan Habib Alwi bin Abdullah Syahab di Tarim, Hadramaut.
Selain itu ia juga berguru kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfagih, seorang ahli hadits dan fuqaha, yang sat itu juga memimpin Madrasah Al-Khairiyah di Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga rajin menghadiri beberapa majelis taklim yang digelar oleh para ulama besar.
Dari perjalanan taklimnya itu, akhirnya Habib Salim mampu menguasai berbagai ilmu agama, terutama hadits, tarikh dan nasab. Ia juga hafal sejumlah kitab hadits.
Berkat penguasaannya terhadap ilmu hadits ia mendapat gelar sebagai muhaddist, dan karena menguasai ilmu sanad maka ia digelari sebagai musnid.
Mengenai guru-gurunya itu, Habib Salim pernah berkata, "Aku telah berkumpul dan hadir di majelis mereka. Dan sesungguhnya majelis mereka menyerupai majelis para sahabat Rasulullah SAW dimana terdapat kekhusyukan, ketenangan dan kharisma mereka."
Adapun guru yang paling berkesan di hatinya ialah Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad dan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf. Tentang mereka, Habib Salim pernah berkata, "Cukuplah bagi kami mereka itu sebagai panutan dan suri tauladan."
Pada 1940 ia hijrah ke Jakarta. Di sini selain membuka majelis taklim, dan ia juga berdakwah ke berbagai daerah. Di masa perjuangan menjelang kemerdekaan, Habib Salim ikut serta membakar semangat para pejuang untuk berjihad melawan penjajah Belanda. Itu sebabnya ia pernah ditangkap, baik di masa penjajahan Jepang maupun ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia seperti pada Aksi Polisionil I pada 1947 dan 1948.
Dalam tahanan penjajah, ia sering disiksa : dipukul, ditendang, disetrum. Namun, ia tetap tabah, pantang menyerah. Niatnya bukan hanya demi amar makruf nahi munkar, menentang kebatilan dan kemungkaran, tetapi juga demi kemerdekaan tanah airnya. Sebab, "hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah sebagian dari pada iman).
Kembali Berdakwah
Setelah Indonesia benar-benar aman, Habib Salim sama sekali tidak mempedulikan apakah perjuangannya demi kemerdekaan tanah air itu dihargai atau tidak. Ia ikhlas berjuang, kemudian kembali membuka majelis taklim yang diberi nama Qashar Al-Wafiddin. Ia juga kembali berdakwah dan mengajar, baik di Jakarta, di beberapa daerah maupun di luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Kamboja.
Ketika berdakwah di daerah-daerah itulah ia mengumpulkan data-data sejarah Islam. Dengan cermat dan tekun ia kumpulkan sejarah perkembangan Islam di Ternate, Maluku, Ambon, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Timor Timur, Pulau Roti, Sumatera, Pulau Jawa. Ia juga mendirikan sebuah perpustakaan bernama Al-Fakhriah.
Di masa itu Habib Salim juga dikenal sebagai ulama yang ahli dalam menjawab berbagai persoalan – yang kadang-kadang menjebak.
Misalnya, suatu hari, ketika ia ditanya oleh seorang pendeta : "Habib, yang lebih mulia itu yang masih hidup atau yang sudah mati ?"
Maka jawab Habib Salim : "Semua orang akan menjawab, yang hidup lebih mulia dari yang mati. Sebab yang mati sudah jadi bangkai."
Lalu kata pendeta itu : "Kalau begitu Isa bin Maryam lebih mulia dari Muhammad bin Abdullah. Sebab, Muhammad sudah meninggal, sementara Isa, menurut keyakinan Habib belum mati, masih hidup."
Jawab Habib Salim :"Kalau begitu berarti ibu saya lebih mulia dari Maryam. Sebab, Maryam sudah meninggal, sedang ibu saya masih hidup. Itu, dia ada di belakang".
Mendengar jawaban diplomatis itu, si pendeta terbungkam seribu bahasa, lalu pamit pulang. Ketika itu banyak kaum Nasrani yang akhirnya memeluk Islam setelah bertukar pikiran dengan Habib Salim.
Habib Salim memang ahli berdebat dan orator ulung. Pendiriannya pun teguh.
Sejak lama, jauh-jauh hari, ia sudah memperingatkan bahaya kerusakan moral akibat pornografi dan kemaksiatan.
“Para wanita mestinya jangan membuka aurat mereka, karena hal ini merupakan penyakit yang disebut tabarruj, atau memamerkan aurat, yang bisa menyebar ke seluruh rumah kaum muslimin”, kata Habib Salim kala itu.
Ulama besar ini wafat di Jakarta pada 16 Rabiulawal 1389 (1 Juni 1969). Ketika itu ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai pelosok datang bertakziah ke rumahnya di Jalan Otto Iskandar Dinata, Jakarta Timur. Iring-iringan para pelayat begitu panjang sampai ke Condet. Jasadnya dimakamkan di kompleks Masjid Alhawi, Condet, Jakarta Timur.
Almarhum meninggalkan dua putera, Habib Shalahudin dan Habib Novel yang juga sudah menyusul ayahandanya. Namun, dakwah mereka tetap diteruskan oleh anak keturunan mereka.
Nama perpustakaan Habib Salim, yaitu Al-Fachriyyah, diresmikan sebagai nama pondok pesantren yang didirikan oleh Habib Novel bin Salim di Ciledug, Tangerang. Kini pesantren tersebut diasuh oleh Habib Jindan bin Novel bin Salim dan Habib Ahmad bin Novel bin Salim (dua putra almarhum Habib Novel).
"Sekarang ini sulit mendapatkan seorang ulama seperti jid (kakek) kami. Meski begitu, kami tetap mewarisi semangatnya dalam berdakwah di daerah-daerah yang sulit dijangkau", kata Habib Ahmad, cucu Habib Salim bin Jindan.
Ada sebuah nasihat almarhum Habib Salim bin Jindan yang sampai sekarang tetap diingat oleh keturunan dan para jemaahnya, ialah pentingnya menjaga akhlak keluarga.
"Kewajiban kaum muslimin, khususnya orangtua untuk menasihati keluarga mereka, menjaga dan mendidik mereka, menjauhkan mereka dari orang-orang yang bisa merusak akhlak. Sebab, orangtua adalah wasilah (perantara) dalam menuntun anak-anak. Nasihat seorang ayah dan ibu lebih berpengaruh pada anak-anak dibanding nasehat orang lain.
Tag
Habaib